91 SI MBAH
Pacitan merupakan salah
satu kota terindah yang pernah menjadi destinasi
untukku dan keluargaku. Salah satu kota wisata terbaik di Indonesia. Pantai
dengan air jernih sejernih susu dengan nyiur melambai-lambai bak penari
hula-hula, dengan keindahan yang mampu mengalahkan pantai-pantai indah seluruh
dunia. Bali yang terkenal dengan wisata pantainya dilibas habis tak ada
apa-apanya dibanding keindahan pantai pacitan. Bukan bermaksud membandingkan
melainkan sebuah kenyataan. Tak hanya wisata pantai, wisata goa pun Pacitan punya. Sampai
Pacitan mendapatkan julukan Kota Seribu Goa karena kota tersebut memiliki
banyak goa dengan keindahan yang menawan. Salah satu goa yang terkenal adalah
Goa Gong. Salah satu goa terbaik se-Asia Tenggara. Yah, disitulah seorang
wanita janda puluhan tahun yang sudah renta tinggal, itulah mbahku. Rumah
sangat sederhana ditinggali banyak orang termasuk budhe,pakdhe, om, tente,
serta sepupu-sepupuku. Aroma khas pedesaan, udara sejuk, pemandangan alam
berupa pematang sawah yang menawan itulah yang membuat aku rindu selalu dengan
mbah. Supinah, yah itulah nama yang paling lengkap dari mbahku. Beliau memiliki
nama julukan yaitu Mbah Upi sesepuh yang berada di desa Mentoro. Nama singkat
namun mengena saat kuingat. Nama itulah yang ku gunakan saat memanggil beliau. Usia
91 tahun bukan merupakan usia yang mudah lagi melainkan usia yang sudah cukup
tua yang selama 3 tahun terakhir hanya bisa terbaring lemah ditempat baliau
biasa menghabiskan waktunya yaitu tempat tidur. Kornea yang sudah didominasi
dengan warna putih dari pada hitam, rambut pun sudah putih ‘memplak’, kulit
ujung muka sampai kaki keriput bak jari tangan yang tercelup air es selama satu
abad. Terasa tak tega saat beliau terbaring lemah tak berdaya dengan kakinya
yang diluruskan agar tak kram yang tak bisa melakukan apapun kecuali tersenyum.
Senyum polos yang selalu diperlihatkan kepada siapapun. Melihat senyumnya
merupakan salah satu hal terindah bagi ku. Senyum yang tak berarti bagi yang
melihatnya namun berarti bagiku. Bukan gigi putih seputih kapur yang diperlihatkan
melainkan gigi hitam legam dengan aroma khas akibat ‘susur’ (menginang daun
sirih) namun gigi tersebut masih utuh layaknya anak berusia remaja. Memiliki ingatan yang masih tajam seperti
Albert Einstein yang memiliki IQ 160. Satu persatu masih hafal siapa saja
cucu-cucunya. Beliau tak tuli, suara semut pun beliau masih bisa dengar. Mata
pun tak buta, masih mampu melihat
tulisan arab saat beliau mengaji.
“Pripun kabaripun mbah” tanyaku sambil tersenyum.
“Alhamdulillah nang” jawabnya. Tanya jawab sederhana itulah yang
mengakrabkanku dengan si Mbah dan terakhir kuucapkan kepada si Mbah tepatnya
saat lebaran tahun 2013 lalu sebelum beliau tiada.
Tangan kurus kering keriput itulah yang terakhir kupegang saat raga
sudah tak bersatu dengan nyawanya. Mata
sayup keriput itulah yang terakhir sebelum mata itu tertutup untuk selamanya.
Sabtu 08 Maret 2014 Si Mbah
dikabarkan kritis namun dan masih berada dirumah sederhana yang beliau
tinggali. Sontak yang saat itu aku masih berada di Surabaya langsung bergerak
cepat secepat Jet yang ditunggangi pilot profesional untuk transit sebentar di
Mojokerto dimana tempat keluarga kami tinggal dan kemudian langsung menuju
Pacitan. Bagiku tak masalah rasa letihku akan terbayarkan saat bertemu dengan
Mbah. 7 jam perjalanan tak terasa kulalui akhirnya sampai tempat tujuan dan
ternyata Si Mbah sudah berada di rumah sakit. Napasnya tersengal, hidung penuh
selang oksigen, tangan tertusuk jarum infus untuk melancarkan cairan infus yang
terpaksa masuk dari urat-uratnya agar tak sampai kekurangan cairan dalam tubuhnya.
Itulah awal kulihat mbahku berada di rumah sakit yang sebelumnya tak pernah
kulihat beliau tersiksa karena infus rumah sakit. Keesokan harinya hari Minggu
pukul 07.00 Si Mbah meminta sarapan karena lapar dan meminta disuapi dan tepat
pukul 09.00 Si Mbah dinyatakan kritis kembali oleh dokter dan dokterpun hanya
bisa berkata
“ Semuanya atas kehendak yang di atas, saya sebagai dokter hanya
menjadi perantara” jawab dokter tersebut sembari meminta maaf pada Ayahku.
Tepat pukul 10.30 dengan
berbagai pertimbangan Si Mbah dibawa pulang karena tak menunjukkan perkembangan
untuk membaik. Tepat minggu tanggal 09 Maret 2014 pukul 12.25 WIB tepat hari
itu malaikat sudah memiliki rencana lain untuk merangkul mbahku dan dibawanya
ke suatu tempat yang lebih nyaman diumur yang ke-91. Membuka mata lebar sebelum
semuanya napasnya berhenti. Denyut nadi menghilang ditelan bumi saat kucari
disekitar leher dan tangannya. Itulah yang kulihat saat-saat terakhir sebelum
mbahku pergi selama-lama-lama-lamanya. Hening, tangis, terpenganga, lemas,
pandangan mata kosong, tak percaya saat aku dan semua saudaraku berada
disampingnya. Dengan ajeg semuanya pun berdiri segera memandikan dan
menyolatkan agar tak larut dalam kesedihan.
“Percuma tangisan tak akan membawa nikmat bagi Si Mbah” kata Ayahku
yang sembari tadi menyiapkan berbagai hal untuk pemakaman.
Semua hanya terdiam termenung saat ayahku berkata seperti itu.
Pelayat berjubel berdatangan yang
mungkin karna Si Mbah merupakan sesepuh desa yang pada waktu itu pernah
melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk desanya. Untuk kesekian dan terakhir
kalinya aku melakukan penghormatan terakhir dengan mengucapkan segala doa dan
mengantarkan ke pemakaman. Pemakaman dengan medan yang menyusuri hutan serta
bukit yang kemiringannya mencapai 50 derajad, kudaki dengan langkah mantap
sembari mengimbangi badan serta kaki agar tak tergelincir. Aku tak ikut
memasukkan karna ayah dan om sudah cukup untuk mewakiliku. Yang terpenting aku
akan selalu melantunkan doa disetiap aku selesai melakukan ibadah, akan selalu
ku selipkan namamu agar aku selalu ingat akan semua petuah-petuah yang aku
butuhkan untuk menjalani hidup yang keras ini yang sering tak kuhiraukan namun
disaat engkau tiada aku baru sadar bahwa petuah itu akan berguna untuk hidupku
kelak.
Terima kasih Mbah untuk semuanya
aku tidak akan melupakan semua kenangan yang pernah engkau berikan selama
hidupmu yang bisa menjadikan pengalaman yang berarti bagiku. Ini kupersembahkan
untukmu Mbah semoga Mbah tenang di alam sana, amalan yang engkau pernah perbuat
selama hidup supaya diterima disisi-NYA. AMINNN. Maafkan cucumu ini yang belum
bisa menjadi cucu terbaik untuk Mbah. Kami di dunia ini telah ikhlas dan tegar
bila Mbah sudah bahagia disisi-NYA.
Oleh : Wisnu Adhika Tyas
122074023
0 komentar:
Posting Komentar