Minggu, 16 Maret 2014

91 Si Mbah


                                              
91 SI MBAH
          Pacitan merupakan salah satu kota terindah yang pernah menjadi destinasi untukku dan keluargaku. Salah satu kota wisata terbaik di Indonesia. Pantai dengan air jernih sejernih susu dengan nyiur melambai-lambai bak penari hula-hula, dengan keindahan yang mampu mengalahkan pantai-pantai indah seluruh dunia. Bali yang terkenal dengan wisata pantainya dilibas habis tak ada apa-apanya dibanding keindahan pantai pacitan. Bukan bermaksud membandingkan melainkan sebuah kenyataan. Tak hanya wisata  pantai, wisata goa pun Pacitan punya. Sampai Pacitan mendapatkan julukan Kota Seribu Goa karena kota tersebut memiliki banyak goa dengan keindahan yang menawan. Salah satu goa yang terkenal adalah Goa Gong. Salah satu goa terbaik se-Asia Tenggara. Yah, disitulah seorang wanita janda puluhan tahun yang sudah renta tinggal, itulah mbahku. Rumah sangat sederhana ditinggali banyak orang termasuk budhe,pakdhe, om, tente, serta sepupu-sepupuku. Aroma khas pedesaan, udara sejuk, pemandangan alam berupa pematang sawah yang menawan itulah yang membuat aku rindu selalu dengan mbah. Supinah, yah itulah nama yang paling lengkap dari mbahku. Beliau memiliki nama julukan yaitu Mbah Upi sesepuh yang berada di desa Mentoro. Nama singkat namun mengena saat kuingat. Nama itulah yang ku gunakan saat memanggil beliau. Usia 91 tahun bukan merupakan usia yang mudah lagi melainkan usia yang sudah cukup tua yang selama 3 tahun terakhir hanya bisa terbaring lemah ditempat baliau biasa menghabiskan waktunya yaitu tempat tidur. Kornea yang sudah didominasi dengan warna putih dari pada hitam, rambut pun sudah putih ‘memplak’, kulit ujung muka sampai kaki keriput bak jari tangan yang tercelup air es selama satu abad. Terasa tak tega saat beliau terbaring lemah tak berdaya dengan kakinya yang diluruskan agar tak kram yang tak bisa melakukan apapun kecuali tersenyum. Senyum polos yang selalu diperlihatkan kepada siapapun. Melihat senyumnya merupakan salah satu hal terindah bagi ku. Senyum yang tak berarti bagi yang melihatnya namun berarti bagiku. Bukan gigi putih seputih kapur yang diperlihatkan melainkan gigi hitam legam dengan aroma khas akibat ‘susur’ (menginang daun sirih) namun gigi tersebut masih utuh layaknya anak berusia remaja.  Memiliki ingatan yang masih tajam seperti Albert Einstein yang memiliki IQ 160. Satu persatu masih hafal siapa saja cucu-cucunya. Beliau tak tuli, suara semut pun beliau masih bisa dengar. Mata pun tak buta, masih mampu melihat  tulisan arab saat beliau mengaji.
“Pripun kabaripun mbah” tanyaku sambil tersenyum.
“Alhamdulillah nang” jawabnya. Tanya jawab sederhana itulah yang mengakrabkanku dengan si Mbah dan terakhir kuucapkan kepada si Mbah tepatnya saat lebaran tahun 2013 lalu sebelum beliau tiada.
Tangan kurus kering keriput itulah yang terakhir kupegang saat raga sudah tak bersatu dengan nyawanya.  Mata sayup keriput itulah yang terakhir sebelum mata itu tertutup untuk selamanya.

          Sabtu 08 Maret 2014 Si Mbah dikabarkan kritis namun dan masih berada dirumah sederhana yang beliau tinggali. Sontak yang saat itu aku masih berada di Surabaya langsung bergerak cepat secepat Jet yang ditunggangi pilot profesional untuk transit sebentar di Mojokerto dimana tempat keluarga kami tinggal dan kemudian langsung menuju Pacitan. Bagiku tak masalah rasa letihku akan terbayarkan saat bertemu dengan Mbah. 7 jam perjalanan tak terasa kulalui akhirnya sampai tempat tujuan dan ternyata Si Mbah sudah berada di rumah sakit. Napasnya tersengal, hidung penuh selang oksigen, tangan tertusuk jarum infus untuk melancarkan cairan infus yang terpaksa masuk dari urat-uratnya agar tak sampai kekurangan cairan dalam tubuhnya. Itulah awal kulihat mbahku berada di rumah sakit yang sebelumnya tak pernah kulihat beliau tersiksa karena infus rumah sakit. Keesokan harinya hari Minggu pukul 07.00 Si Mbah meminta sarapan karena lapar dan meminta disuapi dan tepat pukul 09.00 Si Mbah dinyatakan kritis kembali oleh dokter dan dokterpun hanya bisa berkata

“ Semuanya atas kehendak yang di atas, saya sebagai dokter hanya menjadi perantara” jawab dokter tersebut sembari meminta maaf pada Ayahku.

 Tepat pukul 10.30 dengan berbagai pertimbangan Si Mbah dibawa pulang karena tak menunjukkan perkembangan untuk membaik. Tepat minggu tanggal 09 Maret 2014 pukul 12.25 WIB tepat hari itu malaikat sudah memiliki rencana lain untuk merangkul mbahku dan dibawanya ke suatu tempat yang lebih nyaman diumur yang ke-91. Membuka mata lebar sebelum semuanya napasnya berhenti. Denyut nadi menghilang ditelan bumi saat kucari disekitar leher dan tangannya.   Itulah yang kulihat saat-saat terakhir sebelum mbahku pergi selama-lama-lama-lamanya. Hening, tangis, terpenganga, lemas, pandangan mata kosong, tak percaya saat aku dan semua saudaraku berada disampingnya. Dengan ajeg semuanya pun berdiri segera memandikan dan menyolatkan agar tak larut dalam kesedihan.

“Percuma tangisan tak akan membawa nikmat bagi Si Mbah” kata Ayahku yang sembari tadi menyiapkan berbagai hal untuk pemakaman.

Semua hanya terdiam termenung saat ayahku berkata seperti itu.

Pelayat berjubel berdatangan yang mungkin karna Si Mbah merupakan sesepuh desa yang pada waktu itu pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk desanya. Untuk kesekian dan terakhir kalinya aku melakukan penghormatan terakhir dengan mengucapkan segala doa dan mengantarkan ke pemakaman. Pemakaman dengan medan yang menyusuri hutan serta bukit yang kemiringannya mencapai 50 derajad, kudaki dengan langkah mantap sembari mengimbangi badan serta kaki agar tak tergelincir. Aku tak ikut memasukkan karna ayah dan om sudah cukup untuk mewakiliku. Yang terpenting aku akan selalu melantunkan doa disetiap aku selesai melakukan ibadah, akan selalu ku selipkan namamu agar aku selalu ingat akan semua petuah-petuah yang aku butuhkan untuk menjalani hidup yang keras ini yang sering tak kuhiraukan namun disaat engkau tiada aku baru sadar bahwa petuah itu akan berguna untuk hidupku kelak.  

Terima kasih Mbah untuk semuanya aku tidak akan melupakan semua kenangan yang pernah engkau berikan selama hidupmu yang bisa menjadikan pengalaman yang berarti bagiku. Ini kupersembahkan untukmu Mbah semoga Mbah tenang di alam sana, amalan yang engkau pernah perbuat selama hidup supaya diterima disisi-NYA. AMINNN. Maafkan cucumu ini yang belum bisa menjadi cucu terbaik untuk Mbah. Kami di dunia ini telah ikhlas dan tegar bila Mbah sudah bahagia disisi-NYA.

                                                                                        Oleh : Wisnu Adhika Tyas
                                                                                                            122074023


0 komentar:

Posting Komentar