Senin, 17 Maret 2014

Wejangan Ayah

Lorena Nur Kharismawati
122 074 014 / PA 2012

Kala itu tak ada bangku-bangku yang istimewa, hanya gelaran karpet berwarna biru tua yang sudah lusuh dan warnanya hampir pudar. Malam semakin menggulita ditambah hujan yang menyisakan udara kesegaran. Lesehan penyetan ini begitu menyamankan perbincangan antara aku dan ayah. Ibu masih sibuk dengan makanannya, tak mengharapkan sisa pada lauknya. Sedangkan adik telah terlelap berbantal tas ibu dan jaket ayah.
            “Kehidupan memang begitu mbak, kamu baru tahu bagaimana kehidupan di kampus seperti itu. Sebenarnya hal seperti itu terjadi di lingkungan mana saja bahkan ayah pun sering merasakannya.”
            Aku bercerita panjang lebar tentang kehidupan kampus yang baru setahun aku jalani. Rasanya tidak berat tapi juga sering menimbulkan konflik batin. Persaingan, kata ayah memang terjadi merajalela. Ayah mengatakan bahwa kita harus mampu menempatkan diri meski sebenarnya tidak sesuai dengan keinginan kita asal tak mengikis jati diri sendiri.
            “Kalau aku bersikap cuek dengan omongan-omongan orang lain yang negatif  tentang aku, apa aku salah Yah?” Aku menopang dagu di atas meja yang masih berjejer piring-piring sisa makan.
            “Enggak, harusnya kamu malah harus bersikap seperti itu. Dengar mbak, bagaimana pun kita bersikap baik dan apa yang kita lakukan itu benar pasti ada saja kesalahan di mata orang lain tentang kita. Tak perlu terusik dengan semua itu, berjalan saja terus. Pembuktian adalah jalan keluarnya.”
            Aku manggut-manggut mengerti, selama ini aku memang malas mengambil pusing dengan kata-kata orang yang menganggap bahwa pilihanku adalah salah. Mengingat kejadian dua tahun sebelumnya, aku kukuh memilih jurusan bahasa Indonesia untuk melanjutkan kuliah. Teman-teman semasa SMA dan guru-guruku pun tak ada yang pernah mendukung atas pilihanku ini. Ibuku juga sempat tidak menyetujuinya dan ayah yang paling bungkam atas semua. Tapi suatu saat aku memberanikan diri membicarakan hal ini.
            “Mbak, Ayah hanya sebagai pendukung semua pilihanmu. Apapun yang kamu pilih pasti ayah dukung asal kamu bisa bertanggung jawab pada pilihanmu itu. Ayah pernah berada pada pilihan yang berat tapi pilihan terpahit sakali pun adalah sebuah penyelesaian.”
            Banyak kata menelusup pada otakku, sekelebat memori akan masa lalu kehidupan orang tuaku yang kudengar lewat ibu. Begitu berat bertahan pada topangan yang tidak sepenuhnya mendukung. Hal ini sempat membuatku frustasi, seberat inikah menentukan jati diri? Remaja bahkan gadis semacam aku seringkali terombang-ambing pada sesuatu yang menyenangkan hati saja. Ayah memang salah satu yang menjadi panutanku untuk terus melaju. Mungkin lewat jalur prestasi adalah persembahanku untuk beliau. Aku tahu beliau pernah bangga akan hal ini, aku tak pernah lengah untuk urusan akademik satu ini. Semoga aku semakin terpacu pada ini semua, menekan rasa sombong yang terkadang bergejolak.
            Satu lagi yang membuatku berdesir, ayah mengatakan bahwa aku harus mengingat Tuhan dengan wiritan. Sebab disaat kita senang pasti sering luput untuk terus megingat Tuhan, jangankan ketika bahagia ketika tertawa saja kita sering lupa pada Tuhan. Untuk urusan memeluk agama, ayahku lah yang mampu merangkum semuanya. Aku yakin bahwa ayah telah memiliki kepekaan terhadap semua itu.
            Pada dentingan waktu yang semakin larut, ketika malam semakin menggiurkan untuk membuat siapapun terlelap, ada salah satu kata-kata ayah yang sangat kuingat.
            “Setiap manusia berpikir pasti merekalah tokoh utamanya dalam kehidupan tapi perlu kamu ingat mbak, jika pada akhirnya semua adalah menjadi pertanggungjawaban masing-masing, diri sendiri.”

0 komentar:

Posting Komentar