Lorena Nur Kharismawati
122 074 014 / PA 2012
Kala itu tak ada
bangku-bangku yang istimewa, hanya gelaran karpet berwarna biru tua yang sudah
lusuh dan warnanya hampir pudar. Malam semakin menggulita ditambah hujan yang
menyisakan udara kesegaran. Lesehan penyetan ini begitu menyamankan
perbincangan antara aku dan ayah. Ibu masih sibuk dengan makanannya, tak
mengharapkan sisa pada lauknya. Sedangkan adik telah terlelap berbantal tas ibu
dan jaket ayah.
“Kehidupan
memang begitu mbak, kamu baru tahu bagaimana kehidupan di kampus seperti itu.
Sebenarnya hal seperti itu terjadi di lingkungan mana saja bahkan ayah pun
sering merasakannya.”
Aku
bercerita panjang lebar tentang kehidupan kampus yang baru setahun aku jalani.
Rasanya tidak berat tapi juga sering menimbulkan konflik batin. Persaingan,
kata ayah memang terjadi merajalela. Ayah mengatakan bahwa kita harus mampu
menempatkan diri meski sebenarnya tidak sesuai dengan keinginan kita asal tak
mengikis jati diri sendiri.
“Kalau
aku bersikap cuek dengan omongan-omongan orang lain yang negatif tentang aku, apa aku salah Yah?” Aku menopang
dagu di atas meja yang masih berjejer piring-piring sisa makan.
“Enggak,
harusnya kamu malah harus bersikap seperti itu. Dengar mbak, bagaimana pun kita
bersikap baik dan apa yang kita lakukan itu benar pasti ada saja kesalahan di
mata orang lain tentang kita. Tak perlu terusik dengan semua itu, berjalan saja
terus. Pembuktian adalah jalan keluarnya.”
Aku
manggut-manggut mengerti, selama ini aku memang malas mengambil pusing dengan
kata-kata orang yang menganggap bahwa pilihanku adalah salah. Mengingat
kejadian dua tahun sebelumnya, aku kukuh memilih jurusan bahasa Indonesia untuk
melanjutkan kuliah. Teman-teman semasa SMA dan guru-guruku pun tak ada yang
pernah mendukung atas pilihanku ini. Ibuku juga sempat tidak menyetujuinya dan
ayah yang paling bungkam atas semua. Tapi suatu saat aku memberanikan diri
membicarakan hal ini.
“Mbak,
Ayah hanya sebagai pendukung semua pilihanmu. Apapun yang kamu pilih pasti ayah
dukung asal kamu bisa bertanggung jawab pada pilihanmu itu. Ayah pernah berada
pada pilihan yang berat tapi pilihan terpahit sakali pun adalah sebuah
penyelesaian.”
Banyak
kata menelusup pada otakku, sekelebat memori akan masa lalu kehidupan orang
tuaku yang kudengar lewat ibu. Begitu berat bertahan pada topangan yang tidak
sepenuhnya mendukung. Hal ini sempat membuatku frustasi, seberat inikah
menentukan jati diri? Remaja bahkan gadis semacam aku seringkali
terombang-ambing pada sesuatu yang menyenangkan hati saja. Ayah memang salah
satu yang menjadi panutanku untuk terus melaju. Mungkin lewat jalur prestasi
adalah persembahanku untuk beliau. Aku tahu beliau pernah bangga akan hal ini,
aku tak pernah lengah untuk urusan akademik satu ini. Semoga aku semakin
terpacu pada ini semua, menekan rasa sombong yang terkadang bergejolak.
Satu
lagi yang membuatku berdesir, ayah mengatakan bahwa aku harus mengingat Tuhan
dengan wiritan. Sebab disaat kita senang pasti sering luput untuk terus
megingat Tuhan, jangankan ketika bahagia ketika tertawa saja kita sering lupa
pada Tuhan. Untuk urusan memeluk agama, ayahku lah yang mampu merangkum
semuanya. Aku yakin bahwa ayah telah memiliki kepekaan terhadap semua itu.
Pada
dentingan waktu yang semakin larut, ketika malam semakin menggiurkan untuk
membuat siapapun terlelap, ada salah satu kata-kata ayah yang sangat kuingat.
“Setiap
manusia berpikir pasti merekalah tokoh utamanya dalam kehidupan tapi perlu kamu
ingat mbak, jika pada akhirnya semua adalah menjadi pertanggungjawaban masing-masing,
diri sendiri.”
0 komentar:
Posting Komentar