"Aku merindukanmu, lalu aku bisa apa?"
Jika ia hanya diam tanpa sepatah kata, entah dari dalam batinnya, apa masih ada namaku dan doa-doa yang ia panjatkan tetap melingkar di ruangan dingin yang uapnya menebar basah hingga ke bilik jantung, setelah aku mendengar tanyanya.
"Kau
siapa?"
Tiba-tiba
aku menjadi begitu kerdil di sini, bahkan sembunyi pada kuku-kukunya yang pucat pun
aku tidak sanggup, lantas segala memory-memory pagi, siang dan malam-malam
kemarin beterbangan seperti angsa yang berputar mengelilingi senja, nyaris
tenggelam.
Duh Tuhan, sekarang Izroil pasti tengah menertawakan mukaku yang kusam, tertekuk dan garis-garis bekas air mata terlukis di mana-mana.
Duh Tuhan, sekarang Izroil pasti tengah menertawakan mukaku yang kusam, tertekuk dan garis-garis bekas air mata terlukis di mana-mana.
"Aku merindukanmu, lalu aku bisa apa?"
Seuntai bahkan seribu doa cukupkah? Jika ia berada tepat di
kornea sedang jejaknya terhambar di mana-mana, sayang aku tak bisa melihat,
hanya beberapa potong puisi yang masih mengabdi di buku catetanku, tentang
senyumnya, kepiawaian jemarinya menyajikan cumi-cumi favoritku, dan sepatah dua
kata yang selalu ia bisikkan sebelum aku tertidur.
Ah, ia sekarang masih dingin, hanya handuk kecil basah yang sedari tadi ku pegang untuk mengusap wajahnya, agar ia tak semakin beku. Hanya ini yang bisa ku lakukan meski ia sama sekali tak menatapku, mengingat namaku? “tidak” ia tak lagi mengenalku, kemarin saat matanya terbuka dan menatap wajahku, ia hanya terdiam, seolah berpikir panjang, bergumam-gumam, seperti lafadz surat Al-Ikhlas yang lirih aku dengarkan dari bibirnya, namun sekali lagi, ia hanya menatapku dengan pandangan kosong, hingga pada ujung bacaannya ia bertanya padaku
Ah, ia sekarang masih dingin, hanya handuk kecil basah yang sedari tadi ku pegang untuk mengusap wajahnya, agar ia tak semakin beku. Hanya ini yang bisa ku lakukan meski ia sama sekali tak menatapku, mengingat namaku? “tidak” ia tak lagi mengenalku, kemarin saat matanya terbuka dan menatap wajahku, ia hanya terdiam, seolah berpikir panjang, bergumam-gumam, seperti lafadz surat Al-Ikhlas yang lirih aku dengarkan dari bibirnya, namun sekali lagi, ia hanya menatapku dengan pandangan kosong, hingga pada ujung bacaannya ia bertanya padaku
“kau siapa? Mengapa
menangis seperti itu, pergilah jangan tangisi aku, kenal juga tidak..!!”
entah,
entah, aku tak bisa berpikir lagi, lantaran segala langkah kakiku sedari tadi
yang ingin terus berlari tiba-tiba ambruk di sini, hancur hanya dalam satu
pertanyaan, keinginanku untuk memeluknya remuk terhantam badai.
“Aku merindukanmu, lalu aku bisa apa?”
hanya hantaman debur
ombak yang berkecamuk di dalam dadaku, berucap pun aku tidak sanggup, dan aku
mulai memikirkan esok, kalau saja ia terbangun dan masih bertanya, harus aku
jawab bagaimana? Bisakah seseorang dipaksa-paksa untuk mengakui aku yang begitu
mencintainya, atau hanya terdiam dengan menitikkan air mata.
Tidak banyak yang bisa aku jelaskan, kerna sekarang dunia
seperti tinggal separo, hanya ketika ia tak mengenal namaku, bukan, jelas-jelas
itu bukan kata “hanya” atau “sekedar” kerna hidupku seakan-akan telah
terpenjara di matanya, tapi aku tetap duduk di sini menungguinya, entah, aku
kini tak peduli, ia mengakui atau pun tidak, ia mengenalku atau pun tidak, aku
akan tetap mengenggam erat jemarinya, yang jika boleh aku katakan “merontokkan
batang-batang jantungku” kerna begitu beku,
bahkan wajahnya kini begitu asing, aku penasaran menanti akhir.
Meski pun begitu aku bahagia di sini, jika esok tidak ada
lagi yang memanggil namaku, aku bahagia di sini, jika esok tak ada lagi yang
akan memeluk ku, aku harus bahagia dengan moment ini, kerna meski ia sama sekali
tidak mengenalku, aku di sini di sepanjang pagi, aku memandanginya di sepanjang
siang, aku bahagia mengenang percakapan kami di waktu-waktu lalu di sepanjang
petang.
Ini
sudah terlalu larut, dan terhitung 34 jam ia memejamkan mata, sejak pertanyaan
yang menusuki jantungku itu, sejak itu, ia hanya bermimpi.
"Tidurlah Ayah"
Malam ini aku akan menjaganya sebisa mata, tangan, tubuh dan
doaku, meski aku tak yakin jika Izroil tak ada di hadapanku.
Aku masih ingin kau memanggil namaku, Ibu.
Aku masih ingin kau memanggil namaku, Ibu.
Petang ke dua, 11 Maret 2014
Persembahan Untuk Ibu
“berjanjilah untuk
tidak bertanya seperti itu lagi padaku”
Uul Rohmatul Hasanah
12020074012/PA 2012
0 komentar:
Posting Komentar