Jumat, 14 Maret 2014

Ia Tak Mengenalku




"Aku merindukanmu, lalu aku bisa apa?"
 
Jika ia hanya diam tanpa sepatah kata, entah dari dalam batinnya, apa masih ada namaku dan doa-doa yang ia panjatkan tetap melingkar di ruangan dingin yang uapnya menebar basah hingga ke bilik jantung, setelah aku mendengar tanyanya

"Kau siapa?"

Tiba-tiba aku menjadi begitu kerdil di sini, bahkan sembunyi pada kuku-kukunya  yang pucat pun aku tidak sanggup, lantas segala memory-memory pagi, siang dan malam-malam kemarin beterbangan seperti angsa yang berputar mengelilingi senja, nyaris tenggelam.

Duh Tuhan, sekarang Izroil pasti tengah menertawakan mukaku yang kusam, tertekuk dan garis-garis bekas air mata terlukis di mana-mana.

"Aku merindukanmu, lalu aku bisa apa?"

Seuntai bahkan seribu doa cukupkah? Jika ia berada tepat di kornea sedang jejaknya terhambar di mana-mana, sayang aku tak bisa melihat, hanya beberapa potong puisi yang masih mengabdi di buku catetanku, tentang senyumnya, kepiawaian jemarinya menyajikan cumi-cumi favoritku, dan sepatah dua kata yang selalu ia bisikkan sebelum aku tertidur.

Ah, ia sekarang masih dingin, hanya handuk kecil basah yang sedari tadi ku pegang untuk mengusap wajahnya, agar ia tak semakin beku. Hanya ini yang bisa ku lakukan meski ia sama sekali tak menatapku, mengingat namaku? “tidak” ia tak lagi mengenalku, kemarin  saat matanya terbuka dan menatap wajahku, ia hanya terdiam, seolah berpikir panjang, bergumam-gumam, seperti lafadz surat Al-Ikhlas yang lirih aku dengarkan dari bibirnya, namun sekali lagi, ia hanya menatapku dengan pandangan kosong, hingga pada ujung bacaannya ia bertanya padaku

 “kau siapa? Mengapa menangis seperti itu, pergilah jangan tangisi aku, kenal juga tidak..!!” 

entah, entah, aku tak bisa berpikir lagi, lantaran segala langkah kakiku sedari tadi yang ingin terus berlari tiba-tiba ambruk di sini, hancur hanya dalam satu pertanyaan, keinginanku untuk memeluknya remuk terhantam badai.

“Aku merindukanmu, lalu aku bisa apa?” 

hanya hantaman debur ombak yang berkecamuk di dalam dadaku, berucap pun aku tidak sanggup, dan aku mulai memikirkan esok, kalau saja ia terbangun dan masih bertanya, harus aku jawab bagaimana? Bisakah seseorang dipaksa-paksa untuk mengakui aku yang begitu mencintainya, atau hanya terdiam dengan menitikkan air mata.

Tidak banyak yang bisa aku jelaskan, kerna sekarang dunia seperti tinggal separo, hanya ketika ia tak mengenal namaku, bukan, jelas-jelas itu bukan kata “hanya” atau “sekedar” kerna hidupku seakan-akan telah terpenjara di matanya, tapi aku tetap duduk di sini menungguinya, entah, aku kini tak peduli, ia mengakui atau pun tidak, ia mengenalku atau pun tidak, aku akan tetap mengenggam erat jemarinya, yang jika boleh aku katakan “merontokkan batang-batang jantungku” kerna begitu beku,  bahkan wajahnya kini begitu asing, aku penasaran menanti akhir. 

Meski pun begitu aku bahagia di sini, jika esok tidak ada lagi yang memanggil namaku, aku bahagia di sini, jika esok tak ada lagi yang akan memeluk ku, aku harus bahagia dengan moment ini, kerna meski ia sama sekali tidak mengenalku, aku di sini di sepanjang pagi, aku memandanginya di sepanjang siang, aku bahagia mengenang percakapan kami di waktu-waktu lalu di sepanjang petang.

Ini sudah terlalu larut, dan terhitung 34 jam ia memejamkan mata, sejak pertanyaan yang menusuki jantungku itu, sejak itu, ia hanya bermimpi.

"Tidurlah Ayah"

Malam ini aku akan menjaganya sebisa mata, tangan, tubuh dan doaku, meski aku tak yakin jika Izroil tak ada di hadapanku.

Aku masih ingin kau memanggil namaku, Ibu.
Petang ke dua, 11 Maret 2014

Persembahan Untuk Ibu
“berjanjilah untuk tidak bertanya seperti itu lagi padaku”
Uul Rohmatul Hasanah
12020074012/PA 2012

0 komentar:

Posting Komentar