Siapa orang yang
bersarung di sini yang tidak mengetahui siapa nama Ibukku. Siapa juga orang
yang berkonde di sini yang tidak tahu konde Ibukku lebih besar dari konde
mereka. Sudah barang pasti semua orang di sini tahu, Ibuk berparas ayu dan menyenangkan
ini adalah Ibukku.
Lembayung yang
kemarin siang itu aku lihat bersama Ibuk, pagi itu tadi sudah tidak berada di
tempatnya. Mungkin ada yang menyianginya tanpa sepengetahuanku. Aku sudah geram
menunggu lembayung itu, tetapi apa yang kutunggu tidak ada di depanku. Dengan
wajah geramku, Ibuk tidak berhenti tertawa di sampingku karena melihat wajahku
yang berubah menjadi merah menyala.
“Bukan Tuhan
namanya Nil, kalau Dia tidak memberi kita lembayung lain. Wong Ibuk bisa nyari di tempat lain juga.”
Ah, sudahlah,
malas berdebat dengan Ibuk yang menanggapi semua hal dengan lelucon. Dengan
tangan kosong aku kembali ke pematang sawah dan duduk berdampingan dengan Ibuk.
Dalam dialogku dengannya, tidak sedetikpun Ibuk memasang wajah muram. Yang aku lihat hanya bibir yang tertarik ke atas
membentuk senyuman dan lekukan di pipinya yang tirus. Terkadang saya berpikir,
kapan saya bisa membuat Ibuk jauh lebih terlihat gemuk. Pipinya yang tirus saat
aku menciumnya ketika pulang, tubuhnya yang selalu mengeluarkan peluh saat aku
butuh uang, matanya yang sudah sayu, dan lekuk tubuhnya yang kusentuh serasa
tulang, semua itu yang Ibuk tunjukkan ke mataku.
Tidak pernah
sekalipun Ibuk memberitahukan kepadaku tentang hal buruk yang dialaminya.
Mungkin beliau ingin hidupku serasa menyenangkan seperti yang beliau ceritakan
kepadaku. Tetapi dalam perbincanganku dengan beliau pagi itu, aku tahu apa yang
beliau rasakan dalam seminggu ini.
Sampai beliau
menangis dan matanya terpejam menahan air mata yang tidak beliau inginkan untuk
keluar, aku baru tahu, Ibukku benar-benar menghilangkan tawanya kali ini. “Namanya
orang Nil, kalau tidak jadi orang yang menyenangkan ya jadi orang yang paling
memuakkan. Sama juga halnya, ada orang yang suka dengan kita dan ada juga orang
yang tidak suka dengan tingkah kita.” Ibuk menghentikan perkataannya lantas
mengusapkan ujung rok yang beliau kenakan untuk menghapus air matanya. Dengan
ucapan itu saja sudah menyebabkan mata Ibuk sembab. Rasanya kelu mendengar Ibuk
berucap seperti itu. Aku hanya bisa diam dan menunggu Ibuk meneruskan
tangisannya.
Dalam
tangisannya, Ibu hanya ingin melepaskan beban yang Ia rasakan dalam seminggu
ini karena omongan tetangga yang menyakiti hatinya. “Ah, mungkin tetangga iri
Buk, sudahlah” kataku dengan merajuk. Tapi Ibuk tidak memerdulikannya.
“hanya saja
mungkin Tuhan ingin lihat seberapa kuatnya Ibuk punya anak seperti kamu Nil.
Hahaha” masih saja Ibuk mencoba tertawa di depanku.
Perbincangan itu
tidak Ibuk teruskan karena Ibuk terus saja mengalihkan perhatianku. Mungkin
saja Ibuk tidak mau perbincangan pagi itu menjadi beban buatku.
Nama Ibukku
sebagai nama yang menyenangkan, nama Ibukku yang memberi kesenangan bagiku,
nama Ibukku yang membuat orang merasa senang, kini nama Ibukku tidak berarti
menyenangkan seperti namanya dulu.
Aku tidak tahu
apa yang ingin Ibuk sampaikan kepadaku. Hanya saja yang kutahu, Ibuk yang
berusaha kuat di depanku adalah orang yang mengajari aku menutupi kelemahan dan
memberi kekuatan kepada orang lain dengan menunjukkan bahwa kita dalam keadaan
“baik-baik saja” tanpa berarti masalah membuat kita mati.
11 Maret 2014
Nama Ibukku
memerah terjerembab di pematang saat kegagalan ada di sampingku, lantas nama
Ibukku membangunkanku agar aku segera sadar “dunia tak seindah pagar besi di
depan rumah”.
Nama : Putri Kartikawati
NIM : 12020074003 / PA
2012
0 komentar:
Posting Komentar