Minggu, 16 Maret 2014

Merindu Pelukan



Merindu Pelukan
Pada suatu hari, aku memulai Minggu pagiku dengan tatapan kosong adikku yang pada saat itu baru bangun dari lelap tidurnya. Ku hirup aroma-aroma sedap lauk pauk dan wangi teh yang sudah tersedia di meja makan. Pada waktu itu jam masih menunjukkan pukul lima pagi. Sembari menguap, aku berjalan perlahan-lahan menuju dapur.
“Oh, anak perempuanku, kau sudah bangun. Ini teh hangat, yang satu untukmu satu lagi untuk ayahmu” sapa ibu dengan hangat.
“Iya bu” jawabku singkat.
Kemudian ku lanjutkan langkahku menuju kamar mandi. Mencuci muka kemudian menyikat gigi adalah kegiatan rutinku saat pagi hari sebelum memulai aktifitas. Setelah semuanya selesai, aku mulai membantu hidupku memasak sambil berbincang-bincang layaknya sahabat sendiri. Kemudian, aku pun disuruh ibu untuk menemani adikku menonton televisi, karena mungkin ibu mengerti, kalau aku pun juga rindu adikku setelah sekian pekan tak bertemu perihal kuliahku yang cukup jauh.
Hari itu sangat cerah, bahkan mungkin siang nanti sang surya akan menemani seluruh aktifitasku tanpa bersembunyi di balik awan.
Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, waktunya adikku untuk pulang sekolah. Ia dijemput oleh ibu dengan menggunakan sepeda ontel yang dulu semasa sekolah menemaniku berangkat serta pulang sekolah. Adikku, Hilmi, masih berusia 4 tahun. Lucu, polos, dan suka jail adalah sifatnya yang tak pernah hilang. Sesampainya di rumah, ia langsung menyampaikan semua kegiatannya di sekolah yang menurutnya sendiri itu adalah hal paling seru yang pernah dialaminya sembari memegang mainan di kedua tangannya. Ya, begitulah masa kecil, masa-masa terindah tanpa masalah, menurutku.
“De, ayo antar ibu ke pasar” ajak ibu sambil menaruh tas adik di meja belajar.
“Ah malas bu. Ini sudah siang, panas sekali di luar” tolakku sambil asyik menonton televisi di ruang tengah.
“Kamu ini selalu begitu kalau di rumah. Disuruh ini itu tak mau” jawab ibuku.
Aku biarkan saja ibuku berlalu. Tak ada pikiran apapun yang negatif tentang perilakuku pada ibu kala itu. Dan kami bertiga pun menuju kamar masing-masing untuk tidur siang.
Pada sore, tepatnya pukul lima sore, aku, adik, dan ibu sama-sama menikmati acara televisi yang menjadi tontonan favorit adikku. Setelah pukul enam, aku pun menuju kamarku, begitu juga dengan ibu, namun adikku masih tetap berada di ruang tengah dengan tontonan kartun Pororo yang sangat disukainya.
Di kamar, aku menyanyi dengan suara yang sangat keras tanpa memerdulikan siapapun dengan musik yang terus bermain di telepon genggamku. Perlahan-lahan ku dengar suara ibuku dari kamarnya, namun suara itu masih terdengar samar-samar oleh telingaku. Aku pun langsung mematikan musik, berusaha untuk mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh ibu.
“De, kamu ngapain?”
“Dengerin musik, bu”
“Sini lo sama ibu, kamu nggak kangen sama ibu? Kalau di rumah, kamu itu selalu saja menyendiri. Padahal ibu kangen sama kamu” terdengar suara itu dengan jelas dari kamar ibu.
Seketika air mataku pun menetes. Tak pernah ku berpikir bahwa kalimat itulah yang terucap dari bibir manis ibuku.
Aku pun lantas langsung berlari menuju kamar ibu dan memeluknya. Ia tampak kaget dengan kelakuanku saat itu. Pelukan itu adalah pelukan terhangat yang aku dapat selama aku hidup. Aku berbisik lirih kepada ibuku, terisak-isak, sambil meminta maaf kepadanya atas semua yang aku lakukan selama ini. Ibuku pun lantas ikut menangis di depanku, tak pernah ku melihat ibu menangis terharu seperti ini. Ku usap air mata yang jatuh ke pipinya, dengan kedua tanganku yang mungkin belum pernah ku lakukan hal seperti ini dalam hidupku. Sejak saat itulah aku berjanji kepada ibu, bahwa aku akan selalu menemaninya kemana pun ia minta untuk ditemani, walau terkadang badan terasa ingin beristirahat tanang di rumah.
Terima kasih ibu, maafkan aku. Ternyata kau juga merindukan ku, walau usiaku tak lagi semuda adikku. Aku janji, aku akan bahagiakanmu mulai sekarang hingga waktu kan memanggilku.

Ade Ria Erianti / 122074204

0 komentar:

Posting Komentar