Tidak perlu kalian tanyakan
tentang beliau, sosok Nomor 1 dalam hidupku. Masihkah kalian bertanya siapa
dia?. Aku harap tidak. Karena aku yakin 90% dari kalian memberikan peringkat
itu kepada Beliau. Ya beliau adalah Ibu, Wanita yang telah mengandung kita selama
berbulan-bulan, melahirkan kita, merawat kita dengan penuh kasih sayang.
Masihkah kalian mau bertanya lagi mengapa aku menyebutnya Sosok nomor 1 dalam
hidupku?. Namun semua jasa yang telah beliau berikan pada ku belum juga aku
membalasnya, sampai saat ini, sampai detik ini.
Aku gadis remaja yang belumlah
mengerti arti balas budi, saat itu aku masih duduk di bangku SMP, masa di mana
masih asyiknya aku bersenang-senang dengan teman-teman sepermainan, sampai aku tidak
mengingat waktu untuk pulang ke rumah. Betapa cemasnya beliau saat itu. Waktu
sudah hampir menunjukan pukul 18.00, namun aku masih belum sampai di rumah.
“tuhan lindungi anak ku di manapun dia berada” keihlasan itu terucap dari bibir
lembutnya. 18.00 lewat akhirnya aku pulag juga ke rumah. Tanpa merasa bersalah
akupun langsung masuk ke dalam kamar dan tidur pulas. Beliau tak berani
membangunkanku karena beliau paling tidak tega melihat aku kelelahan. Sampai
esok pun tiba, aku kesiangan untuk bangun, ibu sudah berkali membangunkan ku
tapi terlalu pulasnya aku sampai tak terasa semua itu. “buk, kenapa ibuk tidak
membangunkanku, hari ini aku tes b.inggris”, tanpa memghiraukan perkataan
beliau akupun langsung ganti baju dan berangkat ke sekolah. Sesampai di skolah
gerbang sudah hampir di tutup, akupun memohon kepada p.Eko satpam sekolah untuk
mengizinkan ku masuk, untungnya p.Eko
sudah akrab dengan ku, dan akhirnya aku diperbolehkan untuk masuk. Sudah pasti
aku telat masuk ruangan. “semua ini gara-gara ibu,dia tidak membangunkanku”,
cerocosku pada teman-temanku. Tanpa sadar siapa diriku, siapa yang merawat dan
melahirkanku.
Waktu sudah menunjukan pukul
12.30, waktunya selesai pelajaran dan kembali bermain-main lagi. Ya itulah
hidupku, aku yang aktiv di organisasi sekolah, sampai aku jarang pulang ke
rumah dan sering tidur di rumah teman-teman ku. Ibu tidak pernah melarangku,
karena beliau juga tahu aku memang menyukai dunia itu, tapi beribu kali ibu
brpesan padaku “jaga diri baik-baik, jangan lupa solat”. Ah, aku memang bodoh,
mempunyai ibu sebaik itu tapi aku jarang menghapirinya, anak macam apa aku ini.
Sampai suatu hari aku mendapatkan
nasihat dari kakak perempuanku, dia yang selama ini memberiku motivasi untuk
tetap sekolah, walau keadaan keluargaku yang pas pasan namun sangat ramai.
“dik, kamu itu jangan sering tidur di rumah teman, kasihan ibu tiap malam
memikirkanmu”. Seketika itu darah ku tiba-tiba berhenti. Ibu, ada sosok ibu
dalam hidup ini, lantas selama ini apa yang aku fikirkan tentang ibu. “Oh, tidak, kemana ibuku”.
Waktu berjalan begitu cepat, roda kehidupan
memang tak ada rem nya, dia kan terus berputar untuk kehidupan dunia. Berbagai
kisah tentang aku dan ibu telah mengisi kehidupan. Kini aku sudah kelas 3 SMA,
dmana aku sudah benar-benar menjadi remaja da harus memilih jalan hidup yang aku pilih. “nak kemanapun
kamu melangkah, do’a ibu kan terus ada untuk mu”. Sekarang aku sudah bukan anak
SMP lagi, jadi harus bisa menentukan jalan hidup ku sendiri. “Buk aku ingin
kuliah” ucap ku dengan nada sedikit takut. “pergilah nak,jika memang itu
cita-mu”. Keluargaku pas pasan aku tidak
yakin jika aku mampu untuk melanjutkan kuliah. Tapi ucapan beliau yang
mendorong ku untuk tetap mempertahankan cita ku. “ibu ada biaya?”, beliau hanya
tersenyum manis dan menjawab “ semua sudah ada yang ngatur, jika itu jalanmu
maka kamu akan sampai disana”. Aku semakin yakin untuk berjalan, menyusuri
lorong-lorong yang membawa ku menuju labirin cita ku. Dan semua ucapan beliau
benar, allah sudah menyiapkan rejeki untuk aku kuliah. “ Pergilah nak, kejar
mimpimu, pulanglah dengan berselempang kesuksesan, ibu yakin kamu bisa, hanya
kamu satu-satunya harapan ibu”.
Ibu
D. Zawawi Imron
kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daun pun gugur bersama reranting
hanya mata air airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sarisari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang meyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
D. Zawawi Imron
kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daun pun gugur bersama reranting
hanya mata air airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sarisari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang meyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
“Ini aku bu, anakmu yang
merindukanmu, jika sajak ini tak dapat menembus kerinduan , namun aku yakin
do’amu kan menerobos, dan mengalir untuk ku, terima kasih ibu.”
Roikahtul jannah
0 komentar:
Posting Komentar