Nama :
Puji Astuti
NIM :
122074027
Tema : Ibu
Sore itu, aku melihat sorot matamu
yang lain ibu. Tak seperti biasanya, matamu yang teduh kini tampak meninggalkan
guratan kemarahan yang menyala seperti kobaran api. Aku tahu engkau hanya
tampak marah di luar tapi memendam kecemasan yang mendalam jauh di lubuk
hatimu. Aku coba mendamaikan hatiku sebelum menghadap kehadapanmu dan mencoba
bernegosiasi akan kesalahanku. Tapi entah mengapa debaran jantung ini tidak
membuatku insaf dan sadar akan salahku. Kecemasanku akan amarahmu membutakan
pikiranku, hingga hanya kata-kata kasar yang terlontarkan dari bibirku ini untuk
menanggapi kecemasan yang coba engkau utarakan melalui guratan garang wajahmu.
Aku tahu aku memang bersalah,
sebagai seorang gadis remaja yang mulai menginjak dewasa sudah sewajarnya bila
engkau cemas mengetahui aku pergi tanpa memberi kabar sepulang sekolah. Bukan aku
tak mau memahamimu, hanya saja pikiran remajaku saat itu tidak mampu berkompromi
dengan aturan yang telah engkau buat. Aku tidak paham atau memang tidak mau
paham. Jiwa mudaku mulai menggelora untuk belajar memberontak kepadamu. Dan hanya
kata-kata egois yang mampu kulontarkan untukmu saat itu.
Yang terbesit pada pemikiran egoisku
sore itu adalah engkau yang hanya ingin mengurungku. Menjadikan aku seperti
burung yang hidup dalam sangkar, kau yang ingin merenggut kebabasan masa mudaku
yang menjadikan aku remaja kuper yang terisolasi di dalam rumah. Tak terbesit
sekalipun di pikaranku, bagaimana engkau yang tercekik menunggu waktu menanti
kapan aku akan pulang. Tak terpikirkan olehku betapa tersiksanya dirimu
berperang melawan pikiran buruk yang mungkin saja memang menimpaku. yang
kulakukan adalah bersikap tak acuh dengan perasaanmu, mengabaikan seluruh
kekhawatiranmu, kubentak kau sebagai wujud pembenaran sikapku dan kutuduhkan
serangkaian hal buruk yang coba kau lakukan padaku. Mata sendumu yang baru
beberapa menit lalu berkobar seperti bola api kini tampak membesar terbelalak
kaget mendengar segala tuduhanku. Yang kau sisakan hanya butiran air mata yang
mengalir semakin deras membasahi pipimu yang mulai berkerut karena waktu.
Dengan tangan yang bergetar menahan
marah dan rasa kecewa, kau tumpahkan segala perasaanmu yang selama ini kau
pendam. Dari aku yang menjadi satu-satunya alasan bagimu untuk bertahan
menghadapi kerasnya hidup hingga aku yang hanya menjadi satu-satunya kebanggaan
yang pernah ada dalam hidupmu. Ku lihat matamu semakin sembab dan tampak
memerah menumpahkan segala macam kekhawatiran akan kemungkinan-kemungkinan
buruk yang mungkin saja menimpaku. Dengan perasaan yang masih meluap-luap kau
memilih pergi dari hadapanku, meninggalkan berjuta penyesalan yang kini
berputar memenuhi isi kepalaku. Lalu apa yang kulakukan disini? Apa yang telah kulakukan
padamu? Pikirku.
Yang kutahu saat ini, seluruh
tubuhku bergetar dengan hebat, hanya sakit yang kurasakan, sakit karena
menyakiti. Ingin rasanya aku menjerit kepada dunia apa yang sebenarnya sudah
aku lakukan. Betapa bodohnya pemikiranku. Betapa piciknya cara pandangku. Melukaimu
dengan segala tindak tutur dan pemikiranku yang sempit. Hanya penyesalan yang
kurasakan. Kala itu ingin sekali aku mengejarmu, bersimpuh memohon ampun
dihadapanmu dan berkata aku salah, aku salah ibu, sepulang sekolah aku tak
langsung pulang, bermain bersama temanku hingga sore hari menjelang malam tanpa
memberi kabar terlebih dahulu kepadamu, aku salah berpikir engkau tak akan
mencemaskanku dan akan mengerti jika aku sesekali memberontak. Aku salah, hanya
kata-kata itu yang ingin kuucapkan padamu sore itu, tapi entah mengapa tubuhku
rasanya kaku, lidahku pun dibuat kelu oleh situasi yang sedari tadi kubuat
tidak bersahabat. Ku putuskan untuk menunda permintamaafanku kepadamu.
Matahari sudah lebih dari dua jam
lalu telah terbenam, jam dindingpun telah menunjukkan waktu untuk makan malam.
Kulihat ibukupun jauh lebih tenang daripada beberapa saat yang lalu, walaupun
matanya masih sedikit memerah dan sembab menandakan ia baru saja berhenti meneteskan
air mata. Selama makan malam berlangsung, tidak ada percakapan yang terjadi diantara
kami. Waktu seakan membeku dan kami berdua sama-sama membisu, diam seribu
bahasa dengan tatapannya yang entah bagaimana aku bisa mengartikannya. Aku
jelas menyadari kesalahanku tapi entah mengapa egoku melarang untuk memulai
percakapan terlebih dahulu. Suasana canggungpun tak dapat terelakkan lagi, hingga
kudengar sepatah dua patah kata yang begitu familiar keluar dari bibirnya,
memecahkan suasana tabu dirumah ini. Suara lembut yang begitu kurindukan yang
sedari tadi paling kunantikan. Suara ibuku yang begitu penuh perhatian
menanyakan bagaimana rasa masakannya yang memang sedari tadi sore sudah ia
siapkan untuk aku dan ayahku, awal yang baik untuk memulai percakapan, batinku.
Entah
mengapa dan bagaimana dengan sikapnya yang seakan-akan sudah melupakan kejadian
sore tadi, membuat mataku kembali berkaca-kaca, hatiku terenyuh kembali.
Kuputuskan untuk berdamai dengan egoku, kutumpahkan seluruh keinsafanku padanya
dan kuakui segala kesalahan yang telah kuperbuat selama ini padanya. Iapun tak
kalah menyesalnya denganku. Malam itu menjadi malam yang sepesial dimana kami
dapat berbicara dari hati ke hati, sebagai seorang ibu dan anak, sebagai
sepasang teman baik yang baru berjumpa kembali, sebagai kakak dan adik yang
saling berbagi kisah dan kasih, dan sebagai dua orang wanita yang saling mencurahkan
isi hati. Menyusun ulang kembali kebijakan yang dilandasi rasa saling
pengertian dan kepercayaan. Tawa kacil kembali terdengar disela-sela
perbincangan kami. Tidak membutuhkan waktu lama untuk merekatkan kembali
hubungan ibu dan anak ini.
Terimalah
persembahan maafku ibu, yang mungkin telah beribu kali menggoreskan luka
dihatimu. :D
0 komentar:
Posting Komentar