Sabtu, 15 Maret 2014

Suatu Sore dari Hati ke Hati



Nama   : Puji Astuti
NIM    : 122074027
Tema   : Ibu


            Sore itu, aku melihat sorot matamu yang lain ibu. Tak seperti biasanya, matamu yang teduh kini tampak meninggalkan guratan kemarahan yang menyala seperti kobaran api. Aku tahu engkau hanya tampak marah di luar tapi memendam kecemasan yang mendalam jauh di lubuk hatimu. Aku coba mendamaikan hatiku sebelum menghadap kehadapanmu dan mencoba bernegosiasi akan kesalahanku. Tapi entah mengapa debaran jantung ini tidak membuatku insaf dan sadar akan salahku. Kecemasanku akan amarahmu membutakan pikiranku, hingga hanya kata-kata kasar yang terlontarkan dari bibirku ini untuk menanggapi kecemasan yang coba engkau utarakan melalui guratan garang wajahmu.
            Aku tahu aku memang bersalah, sebagai seorang gadis remaja yang mulai menginjak dewasa sudah sewajarnya bila engkau cemas mengetahui aku pergi tanpa memberi kabar sepulang sekolah. Bukan aku tak mau memahamimu, hanya saja pikiran remajaku saat itu tidak mampu berkompromi dengan aturan yang telah engkau buat. Aku tidak paham atau memang tidak mau paham. Jiwa mudaku mulai menggelora untuk belajar memberontak kepadamu. Dan hanya kata-kata egois yang mampu kulontarkan untukmu saat itu.
            Yang terbesit pada pemikiran egoisku sore itu adalah engkau yang hanya ingin mengurungku. Menjadikan aku seperti burung yang hidup dalam sangkar, kau yang ingin merenggut kebabasan masa mudaku yang menjadikan aku remaja kuper yang terisolasi di dalam rumah. Tak terbesit sekalipun di pikaranku, bagaimana engkau yang tercekik menunggu waktu menanti kapan aku akan pulang. Tak terpikirkan olehku betapa tersiksanya dirimu berperang melawan pikiran buruk yang mungkin saja memang menimpaku. yang kulakukan adalah bersikap tak acuh dengan perasaanmu, mengabaikan seluruh kekhawatiranmu, kubentak kau sebagai wujud pembenaran sikapku dan kutuduhkan serangkaian hal buruk yang coba kau lakukan padaku. Mata sendumu yang baru beberapa menit lalu berkobar seperti bola api kini tampak membesar terbelalak kaget mendengar segala tuduhanku. Yang kau sisakan hanya butiran air mata yang mengalir semakin deras membasahi pipimu yang mulai berkerut karena waktu.
            Dengan tangan yang bergetar menahan marah dan rasa kecewa, kau tumpahkan segala perasaanmu yang selama ini kau pendam. Dari aku yang menjadi satu-satunya alasan bagimu untuk bertahan menghadapi kerasnya hidup hingga aku yang hanya menjadi satu-satunya kebanggaan yang pernah ada dalam hidupmu. Ku lihat matamu semakin sembab dan tampak memerah menumpahkan segala macam kekhawatiran akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin saja menimpaku. Dengan perasaan yang masih meluap-luap kau memilih pergi dari hadapanku, meninggalkan berjuta penyesalan yang kini berputar memenuhi isi kepalaku. Lalu apa yang kulakukan disini? Apa yang telah kulakukan padamu? Pikirku.
            Yang kutahu saat ini, seluruh tubuhku bergetar dengan hebat, hanya sakit yang kurasakan, sakit karena menyakiti. Ingin rasanya aku menjerit kepada dunia apa yang sebenarnya sudah aku lakukan. Betapa bodohnya pemikiranku. Betapa piciknya cara pandangku. Melukaimu dengan segala tindak tutur dan pemikiranku yang sempit. Hanya penyesalan yang kurasakan. Kala itu ingin sekali aku mengejarmu, bersimpuh memohon ampun dihadapanmu dan berkata aku salah, aku salah ibu, sepulang sekolah aku tak langsung pulang, bermain bersama temanku hingga sore hari menjelang malam tanpa memberi kabar terlebih dahulu kepadamu, aku salah berpikir engkau tak akan mencemaskanku dan akan mengerti jika aku sesekali memberontak. Aku salah, hanya kata-kata itu yang ingin kuucapkan padamu sore itu, tapi entah mengapa tubuhku rasanya kaku, lidahku pun dibuat kelu oleh situasi yang sedari tadi kubuat tidak bersahabat. Ku putuskan untuk menunda permintamaafanku kepadamu.
            Matahari sudah lebih dari dua jam lalu telah terbenam, jam dindingpun telah menunjukkan waktu untuk makan malam. Kulihat ibukupun jauh lebih tenang daripada beberapa saat yang lalu, walaupun matanya masih sedikit memerah dan sembab menandakan ia baru saja berhenti meneteskan air mata. Selama makan malam berlangsung, tidak ada percakapan yang terjadi diantara kami. Waktu seakan membeku dan kami berdua sama-sama membisu, diam seribu bahasa dengan tatapannya yang entah bagaimana aku bisa mengartikannya. Aku jelas menyadari kesalahanku tapi entah mengapa egoku melarang untuk memulai percakapan terlebih dahulu. Suasana canggungpun tak dapat terelakkan lagi, hingga kudengar sepatah dua patah kata yang begitu familiar keluar dari bibirnya, memecahkan suasana tabu dirumah ini. Suara lembut yang begitu kurindukan yang sedari tadi paling kunantikan. Suara ibuku yang begitu penuh perhatian menanyakan bagaimana rasa masakannya yang memang sedari tadi sore sudah ia siapkan untuk aku dan ayahku, awal yang baik untuk memulai percakapan, batinku.
Entah mengapa dan bagaimana dengan sikapnya yang seakan-akan sudah melupakan kejadian sore tadi, membuat mataku kembali berkaca-kaca, hatiku terenyuh kembali. Kuputuskan untuk berdamai dengan egoku, kutumpahkan seluruh keinsafanku padanya dan kuakui segala kesalahan yang telah kuperbuat selama ini padanya. Iapun tak kalah menyesalnya denganku. Malam itu menjadi malam yang sepesial dimana kami dapat berbicara dari hati ke hati, sebagai seorang ibu dan anak, sebagai sepasang teman baik yang baru berjumpa kembali, sebagai kakak dan adik yang saling berbagi kisah dan kasih, dan sebagai dua orang wanita yang saling mencurahkan isi hati. Menyusun ulang kembali kebijakan yang dilandasi rasa saling pengertian dan kepercayaan. Tawa kacil kembali terdengar disela-sela perbincangan kami. Tidak membutuhkan waktu lama untuk merekatkan kembali hubungan ibu dan anak ini.
Terimalah persembahan maafku ibu, yang mungkin telah beribu kali menggoreskan luka dihatimu. :D

0 komentar:

Posting Komentar