Surabaya, 10 Mei 2012. Ya, itu adalah hari paling bersejarah dalam hidupku. Di hari itu, aku dapat membuka kedua mataku. Melihat tangis haru ibuku dan merasakan pelukan bahagia dalam hidupku. Kecupan dari bibir itu mendarat di pipiku. Hal itu terjadi ketika ibuku mendengar kabar bahwa aku mendapatkan undangan untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri tanpa tes. Pada saat itu aku merasakan hidup di tengah keluarga kecil. Hingga akhirnya aku beranjak dewasa, dengan semua kecukupan yang ku dapatkan. Aku merasakan keluarga kecil lainnya di kampus, dengan teman-teman. Sampai suatu saat aku akan pergi berpencar dari mereka, entah akan dapat dunia seperti apa lagi. Bukankah hal itu menyedihkan? Apa nanti aku sendiri? Ku terus menjalani hari ku dengan berbagai cara. Melawan rasa sedihku, melawan rasa takutku.
Surabaya, 10 Agustus 2012. Setelah tiga
bulan lamanya aku menanti hari dimana aku harus memasuki dunia perkuliahan yang
sangat berbeda dengan dunia SMA. Tanpa ibu, ayah, dan teman-temanku di SMA.
Saat itu aku merasa asing karena tak seorang pun ada yang aku kenal kecuali
teman satu kelasku SMA yang pada saat itu mendapat undangan juga dan memilih
masuk di jurusan yang sama denganku yaitu pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Pagi pertama hari itu, ospek dilakukan secara menegangkan dan
melelahkan dengan jadwalnya yang padat.
“Hai, nama kamu siapa? Aku Rena” gadis itu tiba-tiba mengulurkan tangannya ke padaku yang baris di belakangnya dengan senyuman.
“Aku Gita. kamu sekolah dimana?” ku balas uluran tangannya dan senyuman lembutnya.
“Di SMAN 1 Porong sidoarjo itu” ucapnya dengan suara yang khas. Aku membalasnya dengan anggukan pelan. Dan tak ku sangka dia berasal dari kota yang sama denganku, Sidoarjo. Kini aku benar-benar menyatu dengannya yang ternyata dia satu jurusan denganku juga, keluarga kecil baru ku di kampus.
"Nanti, kalau kita nggak sekelas gimana ya? Sepi kali ya? Hmm.. Semoga aja kita sekelas". Satu kalimat yang di ucapkan Rena membuatku menangis haru. Saat yang paling aku dan Rena benci adalah ketika pembagian kelas karena kami tidak ingin terpisah.
"Kita kalau bisa jangan dipisah deh ya". Aku memeluk Rena dan tersenyum. Saat namaku dan Rena disebutkan ternyata kami satu kelas dan nomer absen kita berurutan. Betapa bahagianya hati kami berdua. Sejak saat itulah kami menjadi sahabat dan selalu bersama kemana pun kami pergi.
Satu tahun pun kami lewati bersama-sama. Tangis, tawa, suka dan duka selalu bersama. Meskipun selalu ada pertengkaran kecil di antara kami. Suatu hari Rena berkata padaku bahwa dia sedang merasakan jatuh cinta pada seorang laki-laki. Alwa, namanya. Seminggu setelah mereka melakukan pendekatan akhirnya terjalinlah sebuah hubungan pacaran. Jujur saat itu aku merasa sakit hati dan tidak ingin Rena berpacaran dengan Alwa. Bukan karena aku jatuh cinta juga dengan Alwa namun aku tidak ingin kehilangan Rena dan aku takut jika kelak Rena tak memperdulikanku lagi.
"Meskipun aku sudah punya pacar, aku tidak akan melupakanmu, Gita. Justru aku akan lebih membutuhkanmu. Kamu nggak bosen kan denger ceritaku terus tentang Alwa?" Suara Rena tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
"Iya aku ngerti. Nggak ada yang merasa dibosankan dan membosankan untuk seorang sahabat". Jawabku dengan batin tersiksa. Tapi aku berusaha menghilangkan perasaan burukku itu pada sahabatku sendiri.
Setelah Rena dan Alwa berpacaran sekitar 2 bulan, aku menelan kesepian seorang diri tanpa sahabat. Tak masalah bagiku asalkan sahabatku bahagia apapun akan ku lakukan meskipun nyawa yang harus ku berikan. Beberapa hari hubungan Rena dan Alwa sedang di ujung tanduk. Alwa tidak memberi kabar pada Rena sama sekali. Dengan berat hati aku meminta dia memutuskan Alwa. Hal itu aku lakukan untuk kebaikannya. Namun dia tidak dapat melakukan apa yang aku minta.
"Aku tau Git, kamu nggak suka sama Alwa tapi kamu jangan nyuruh aku putus sama dia. Kamu bilang kamu sahabatku, tapi kamu tega nyakitin perasaanku". Kalimat itu dia ucapkan lewat BBM.
Dalam hati aku bergumam, "Maafkan aku Ren, aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu". Tak lama kemudian, hal yang aku takutkan terjadi. Seminggu kemudian Alwa dan Rena bertemu. Disanalah terjadi perdebatan antara keduanya yang akhirnya berujung dengan perpisahan. Sesampainya di rumah, dia menghubungiku dan mengatakan bahwa hubungan dirinya dengan Alwa telah kandas. Sedih, senang, kecewa, bersyukur itulah yang aku rasakan saat mendengar ceritanya.
"Aku nyesel Git sekarang. Harusnya aku dulu ikutin apa yang kamu sarankan". Mendengar perkataannya aku ikut merasakan kesedihannya.
"Sudahlah Ren, yang berlalu biarkan aja berlalu. Jadikan itu sebuah pelajarab dan bukan untuk di sesali" Jawabku dengan perasaan yang campur aduk. Aku mengerti antara diriku dan dirinya memiliki perbedaan yang cukup banyak namun dari perbedaan itu kita berusaha untuk menyatukannya menjadi persamaan. Aku menyayanginya dengan ketulusan hati. Di sebuah kertas ku tuliskan untukmu sahabat tersayangku "Jadikanlah persahabatan kita ini seperti kertas, pensil, dan penghapus yang dapat saling menutupi kekurangan satu sama lain, pensil yang dapat mengisi kekosongan di kertas, penghapus yang dapat menghapus segala kesalahan yang pernah di buat sang pensil dan selembar kertas yang akan membuat mereka berguna".
Agitya Hanindita Sari
PA 2012
122074015
0 komentar:
Posting Komentar