“EDELWEISS”
Cinta Kasih Ayah Dan Ibuku
Cinta Kasih Ayah Dan Ibuku
Oleh
Indriani
Putri Lestari, 122074029
10
Maret 2014
Entahlah,
harus kumulai dari mana kisah ini kuungkap. Yang pasti aku harus melewati
lorong waktu panjang untuk mengingat. Menjadi penjelajah waktu. Berliuk-liuk, jalannya
naik turun terjal.
5 Juli 1994
STOP!
Lajuku tepat berhenti di bangsal 574. Berdiri tepat di depan kaca jendela ruang
rawat inap. Bayi mungil dibalut kain katun merah muda dengan motif bunga
edelweiss. Kulitnya memerah, nampaknya bayi itu turun dari surga 10 menit yang
lalu. Masih terlihat kesibukan Dokter dan perawat keluar masuk bangsal.
Tangisnya
bahagia, saat ku sorotkan mataku pada Ibu dan Ayah bayi mungil itu. Kulirik
juga beberapa orang tepat di sampingku semua terlihat dihujani kebahagiaan.
Selang beberapa menit kemudian aku memusatkan perhatianku lagi pada bayi itu.
Dengan langkah pasti Ayahnya mengangkat bayi itu dari tempat tidur. Lantunan
adzan dan khomat berkumandang di telinga Si Edelweiss. Belum tahu aku nama bayi
mungil itu, lucu saja karena kain katun yang membalut hangat tubuhnya.
Keesokan
harinya, aku masih bingung kenapa aku sepagi ini sudah berdiri di depan bangsal
ini. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan teriakan gadis manis. Kira-kira usianya 3
tahun, rambutnya dikepang dua ke depan dengan gaun pesta yang menjuntai.
“Horeeee… aku punya adik bayi lucu.” Serunya lantang. Segera melompat dari gendongan sang kakek. Pergerakannya sangat cepat keluarga kecil itu
berkemas untuk pulang. Kali ini Si Edelweiss itu dibalut kain katun biru dengan
motif yang masih sama. Semakin gemas aku melihat Si Edelweiss.
Ketika
masih dalam gendongan selendang batik
biru, Edelweiss dan keluarganya turun dari taksi menuju rumah sederhana di gang
kecil. Tak kusangka Edelweiss memiliki tai
lalat di ujung mata sebelah kirinya, sama dengan tanda yang ada di mata
sebelah kiriku. Aku duduk di beranda rumah Edelweiss bersantai ria. Sempat
terlintas dalam benakku wajah dan tai
lalat Edelweiss. Pikiranku semakin tidak tenang ketika kulihat rumah dan
sekelilingnya sangat tidak asing. Tak acuh aku dengan gangguan itu kurebahkan
tubuhku di kursi panjang.
5 Juli 1998
Si
Edelweiss tumbuh dengan lincah, rambutnya dikepang dua di depan. Berlarian ke
sana kemari dengan gadis manis. Mereka berdua mengenakan pakaian kembar dengan
wajah yang hampir serupa. Menangis tertawa seperti tidak ada yang menghalau
tingkah laku mereka. Ibunya duduk di ayunan samabil membawa semangkuk makanan
bergizi untuk putri-putrinya. Aku juga ikut tertawa lepas melihat kebahagiaan
malaikat-malaikat kecil itu.
Perasaan
gelisah itu muncul lagi ketika mataku menyorot pakaian yang dikenakan Ibu Edelweiss. Blus merah
dengan motif bunga matahari, aku pernah melihat blus itu dua hari yang lalu.
Perasaan gelisah itu semakin memuncak saat tangisan gadis manis itu pecah. Ibu
Edelweiss sudah terlalu jauh membiarkan putrinya bermain mengelilingi taman.
Ibu Edelweiss tidak berpikir panjang segera ia menggendong gadis manis itu. Bergegas mencari jejak Edelweiss yang
benar-benar sudah hilang dari pandangan mata.
Ingin
rasanya aku segera menemukan Edelweiss yang sangat kecil untuk berpisah dari
genggaman Ibunya. Aku berjalan terpisah, tapi sekali lagi ini hal yang sangat
ganjil. Aku mencoba bertanya pada setiap orang yang aku temui. Dengan kutunjukkan
ciri-ciri Edelweiss, tapi nihil orang-orang itu tidak mendengar apa yang sedang
kutanyakan. Yang lebih mengherankan lagi kenapa aku menangis seolah aku
benar-benar lekat dengan diri Edelweiss. Gadis mungil yang saat itu mengenakan
kaos katun polos warna merah muda dan rok tutu denim.
Di
sisi lain gadis manis dalam gendongan Ibu
Edelweiss masih terus menangis. Sedangkan Ibu Edelweiss sangat cemas sesekali
mengusap peluh keringat yang menetes. Sudah hampir setengah hari berkeliling
Edelweiss belum ditemukan. Ibunya tidak mampi berpikir jernih lagi menangis
tentang nasib Edelweiss. Bertanya pada siapapun orang yang ditemui juga tidak
ada yang tahu keberadaan Edelweiss. Langit saat itu terlihat mendung seolah
merasakan kesedihan Ibu Edelweiss.
Arloji
di tangan Ibu Edelweiss menunjukan pukul 16.00 WIB tapi Edelweiss belum juga
ditemukan. Ibu Edelweiss berkeliling sampai ke terminal, gadis manis itu masih
dalam gendongannya. Aku yang saat itu juga berjalan sampai di stasiun yang
sama. Langkahku terhenti ketika ada gadis mungil Si Edelweiss berdiri tepat di
pintu bus jurusan Jakarta—Surabaya. Ayah Edelweiss yang turun dari bus dengan
mengenakan pakaian pengabdiannya dan menenteng boneka beruang super besar
terkejut.
Ada
Edelweiss sudah menyambutnya di depan pintu bus jurusan Jakarta—Surabaya. Ayahnya
segera memeluk Edelweiss yang sangat dirindukannya saat berlayar di pulau
seberang. “Kenapa kamu bisa ada di sini mungil?” sambil membelai rambut panjang
Edelweiss. Dari balik bus Ibu Edelweiss dan gadis manis itu menangis tersedu
menemukan Edelweiss dalam gendongan suaminya.
Yang selama dua tahun pergi belayar. Aku yang meliaht keajdian itu juga
meneteskan air mata seperti cerita itu ada dalam kenangan masa kecilku.
26 Juli 2003
Edelweiss
mungil dan gadis manis sudah siap dengan tampilan terbaiknya untuk menarikan
Tari Payung sebagai perwakilan sekolahnya saat itu. Kesibukan juga nampak dari
Ibunya yang tidak ditemani Ayah karena ditugaskan untuk dinas di luar kota.
Potret sana sini dari berbagai sudut mengabadikan kejadian membanggakan itu.
Tiba-tiba saja aku juga turut menyaksikan tampilan apik dari kedua malaikat-malaikat kecil itu. Mengherankan kenapa
saat itu aku juga mengikuti gerakan tarian itu dengan luwes dari tempat dudukku dua baris paling belakang.
Tibalah
saat yang mendebarkan pengumuman pemenang lomba tari. Dengan bangga Edelweiss
dan gadis manis itu keluar sebagai juara
dan nama Ibunya disebut. Sontak aku terkejut namanya mirip dengan nama
Ibuku di akta kelahiran.
21 Januari 2006
Malaikat-malaikat
itu beranjak remaja. Aku lagi-lagi berdiri tepat di bangsal 574 kali ini dengan
situasi yang berbeda. Ibunya tetap terjaga di kala malam datang. Menjadi Ibu
Peri untuk kedua putrinya yang tergulai lemas di dua tempat tidur yang berbeda.
Maag dan asma yang memaksa kedua putrinya untuk dilakukan rawat inap. Sedih
sungguh dirasakan Ibu Edelweiss dan gadis manis itu karena di situasi ini Ayah
kedua putrinya tidak bisa menemani karena lagi-lagi tugas dinas yang memaksa.
Aku
melihat doa dan keteguhan Ibu lah malaikat-malaikat ini dapat segera pulang
siang harinya. Masih terlihat lemas namun kedua putrinya menginginkan pulang
dan Dokter juga mengijinkan.
Ibu
malaikat-malaikat ini hanya bisa mengirim surat kepada suaminya. Untuk terus
memberikan kabar tentang pertumbuhan dan perkembangan kedua putrinya selama
suaminya bertugas di luar kota. Edelweiss dan gadis manis semakin beranjak
dewasa. Semuanya benar-benar tentang Aku dan Kakak perempuanku sama dengan apa
yang kulihat di antara Edelweiss dan gadis manis itu.
Hingga
usia malaikat-malaikat itu menginjak belasan, langkah dan mataku tidak pernah
jauh dari kehidupan mereka. Baju kembar, sakit, bahagia, prestasi, dan cerita
tentang Ayah mereka. Serta yang terpenting tentang perjuang Ibu mereka yang sulit
ku bedakan dengan Ibuku. Semakin bertanya-tanya tentang skenario Tuhan ini.
Kepalaku serasa terangkat jauh dari tubuhku. Ayah, gadis manis, Edelweiss, dan
Ibunya semakin jauh gelap dan hilang dari pandangan mataku. Tiba-tiba tubuhku
melayang terhempas angin jauh masuk diputarannya.
Brrrrrraaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkkk………………
tubuhku tergeletak di tanah.
“Indri,
bangun…bagunn… sudah subuh!” panggil Ibu sambil membelai rambutku di meja
belajar. Kulihat tugas-tugas kuliah dari semalam masih tergeletak menjadi bantalan.
Ibu terlihat segar dengan mengenakan blus merah dengan motif bunga matahari
sama dengan Ibu Edelweiss waktu itu. Kupeluk ibu tangisku seketika langsung
pecah mengingat semua dokumenatsi Tuhan yang dikirim melalui mimpiku. Menjadi
alarm bahwa Edelweiss ada sebagai bunga keabadian dari cinta kasih Ayah dan
Ibuku
SEKIAN
0 komentar:
Posting Komentar