Minggu, 16 Maret 2014

“EDELWEISS” Cinta Kasih Ayah Dan Ibuku

“EDELWEISS”
Cinta Kasih Ayah Dan Ibuku

Oleh
Indriani Putri Lestari, 122074029

10 Maret 2014
Entahlah, harus kumulai dari mana kisah ini kuungkap. Yang pasti aku harus melewati lorong waktu panjang untuk mengingat. Menjadi penjelajah waktu. Berliuk-liuk, jalannya naik turun terjal.
5 Juli 1994
STOP! Lajuku tepat berhenti di bangsal 574. Berdiri tepat di depan kaca jendela ruang rawat inap. Bayi mungil dibalut kain katun merah muda dengan motif bunga edelweiss. Kulitnya memerah, nampaknya bayi itu turun dari surga 10 menit yang lalu. Masih terlihat kesibukan Dokter dan perawat keluar masuk bangsal.
Tangisnya bahagia, saat ku sorotkan mataku pada Ibu dan Ayah bayi mungil itu. Kulirik juga beberapa orang tepat di sampingku semua terlihat dihujani kebahagiaan. Selang beberapa menit kemudian aku memusatkan perhatianku lagi pada bayi itu. Dengan langkah pasti Ayahnya mengangkat bayi itu dari tempat tidur. Lantunan adzan dan khomat berkumandang di telinga Si Edelweiss. Belum tahu aku nama bayi mungil itu, lucu saja karena kain katun yang membalut hangat tubuhnya.
Keesokan harinya, aku masih bingung kenapa aku sepagi ini sudah berdiri di depan bangsal ini. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan teriakan gadis manis. Kira-kira usianya 3 tahun, rambutnya dikepang dua ke depan dengan gaun pesta yang menjuntai. “Horeeee… aku punya adik bayi lucu.” Serunya lantang.  Segera melompat dari gendongan sang kakek. Pergerakannya sangat cepat keluarga kecil itu berkemas untuk pulang. Kali ini Si Edelweiss itu dibalut kain katun biru dengan motif yang masih sama. Semakin gemas aku melihat Si Edelweiss.
Ketika masih dalam gendongan selendang batik biru, Edelweiss dan keluarganya turun dari taksi menuju rumah sederhana di gang kecil. Tak kusangka Edelweiss memiliki tai lalat di ujung mata sebelah kirinya, sama dengan tanda yang ada di mata sebelah kiriku. Aku duduk di beranda rumah Edelweiss bersantai ria. Sempat terlintas dalam benakku wajah dan tai lalat Edelweiss. Pikiranku semakin tidak tenang ketika kulihat rumah dan sekelilingnya sangat tidak asing. Tak acuh aku dengan gangguan itu kurebahkan tubuhku di kursi panjang.

5 Juli 1998
Si Edelweiss tumbuh dengan lincah, rambutnya dikepang dua di depan. Berlarian ke sana kemari dengan gadis manis. Mereka berdua mengenakan pakaian kembar dengan wajah yang hampir serupa. Menangis tertawa seperti tidak ada yang menghalau tingkah laku mereka. Ibunya duduk di ayunan samabil membawa semangkuk makanan bergizi untuk putri-putrinya. Aku juga ikut tertawa lepas melihat kebahagiaan malaikat-malaikat kecil itu.
Perasaan gelisah itu muncul lagi ketika mataku menyorot pakaian  yang dikenakan Ibu Edelweiss. Blus merah dengan motif bunga matahari, aku pernah melihat blus itu dua hari yang lalu. Perasaan gelisah itu semakin memuncak saat tangisan gadis manis itu pecah. Ibu Edelweiss sudah terlalu jauh membiarkan putrinya bermain mengelilingi taman. Ibu Edelweiss tidak berpikir panjang segera ia menggendong gadis manis itu. Bergegas mencari jejak Edelweiss yang benar-benar sudah hilang dari pandangan mata.
Ingin rasanya aku segera menemukan Edelweiss yang sangat kecil untuk berpisah dari genggaman Ibunya. Aku berjalan terpisah, tapi sekali lagi ini hal yang sangat ganjil. Aku mencoba bertanya pada setiap orang yang aku temui. Dengan kutunjukkan ciri-ciri Edelweiss, tapi nihil orang-orang itu tidak mendengar apa yang sedang kutanyakan. Yang lebih mengherankan lagi kenapa aku menangis seolah aku benar-benar lekat dengan diri Edelweiss. Gadis mungil yang saat itu mengenakan kaos katun polos warna merah muda dan rok tutu denim.
Di sisi lain gadis manis dalam gendongan Ibu Edelweiss masih terus menangis. Sedangkan Ibu Edelweiss sangat cemas sesekali mengusap peluh keringat yang menetes. Sudah hampir setengah hari berkeliling Edelweiss belum ditemukan. Ibunya tidak mampi berpikir jernih lagi menangis tentang nasib Edelweiss. Bertanya pada siapapun orang yang ditemui juga tidak ada yang tahu keberadaan Edelweiss. Langit saat itu terlihat mendung seolah merasakan kesedihan Ibu Edelweiss.
Arloji di tangan Ibu Edelweiss menunjukan pukul 16.00 WIB tapi Edelweiss belum juga ditemukan. Ibu Edelweiss berkeliling sampai ke terminal, gadis manis itu masih dalam gendongannya. Aku yang saat itu juga berjalan sampai di stasiun yang sama. Langkahku terhenti ketika ada gadis mungil Si Edelweiss berdiri tepat di pintu bus jurusan Jakarta—Surabaya. Ayah Edelweiss yang turun dari bus dengan mengenakan pakaian pengabdiannya dan menenteng boneka beruang super besar terkejut.
Ada Edelweiss sudah menyambutnya di depan pintu bus jurusan Jakarta—Surabaya. Ayahnya segera memeluk Edelweiss yang sangat dirindukannya saat berlayar di pulau seberang. “Kenapa kamu bisa ada di sini mungil?” sambil membelai rambut panjang Edelweiss. Dari balik bus Ibu Edelweiss dan gadis manis itu menangis tersedu menemukan Edelweiss dalam gendongan suaminya.  Yang selama dua tahun pergi belayar. Aku yang meliaht keajdian itu juga meneteskan air mata seperti cerita itu ada dalam kenangan masa kecilku.
26 Juli 2003
Edelweiss mungil dan gadis manis sudah siap dengan tampilan terbaiknya untuk menarikan Tari Payung sebagai perwakilan sekolahnya saat itu. Kesibukan juga nampak dari Ibunya yang tidak ditemani Ayah karena ditugaskan untuk dinas di luar kota. Potret sana sini dari berbagai sudut mengabadikan kejadian membanggakan itu. Tiba-tiba saja aku juga turut menyaksikan tampilan apik dari kedua malaikat-malaikat kecil itu. Mengherankan kenapa saat itu aku juga mengikuti gerakan tarian itu dengan luwes dari tempat dudukku dua baris paling belakang.
Tibalah saat yang mendebarkan pengumuman pemenang lomba tari. Dengan bangga Edelweiss dan gadis manis itu keluar sebagai juara  dan nama Ibunya disebut. Sontak aku terkejut namanya mirip dengan nama Ibuku di akta kelahiran.
21 Januari 2006
Malaikat-malaikat itu beranjak remaja. Aku lagi-lagi berdiri tepat di bangsal 574 kali ini dengan situasi yang berbeda. Ibunya tetap terjaga di kala malam datang. Menjadi Ibu Peri untuk kedua putrinya yang tergulai lemas di dua tempat tidur yang berbeda. Maag dan asma yang memaksa kedua putrinya untuk dilakukan rawat inap. Sedih sungguh dirasakan Ibu Edelweiss dan gadis manis itu karena di situasi ini Ayah kedua putrinya tidak bisa menemani karena lagi-lagi tugas dinas yang memaksa.
Aku melihat doa dan keteguhan Ibu lah malaikat-malaikat ini dapat segera pulang siang harinya. Masih terlihat lemas namun kedua putrinya menginginkan pulang dan Dokter juga mengijinkan.
Ibu malaikat-malaikat ini hanya bisa mengirim surat kepada suaminya. Untuk terus memberikan kabar tentang pertumbuhan dan perkembangan kedua putrinya selama suaminya bertugas di luar kota. Edelweiss dan gadis manis semakin beranjak dewasa. Semuanya benar-benar tentang Aku dan Kakak perempuanku sama dengan apa yang kulihat di antara Edelweiss dan gadis manis itu.
Hingga usia malaikat-malaikat itu menginjak belasan, langkah dan mataku tidak pernah jauh dari kehidupan mereka. Baju kembar, sakit, bahagia, prestasi, dan cerita tentang Ayah mereka. Serta yang terpenting tentang perjuang Ibu mereka yang sulit ku bedakan dengan Ibuku. Semakin bertanya-tanya tentang skenario Tuhan ini. Kepalaku serasa terangkat jauh dari tubuhku. Ayah, gadis manis, Edelweiss, dan Ibunya semakin jauh gelap dan hilang dari pandangan mataku. Tiba-tiba tubuhku melayang terhempas angin jauh masuk diputarannya.

Brrrrrraaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkkk……………… tubuhku tergeletak di tanah.

“Indri, bangun…bagunn… sudah subuh!” panggil Ibu sambil membelai rambutku di meja belajar. Kulihat tugas-tugas kuliah dari semalam masih tergeletak menjadi bantalan. Ibu terlihat segar dengan mengenakan blus merah dengan motif bunga matahari sama dengan Ibu Edelweiss waktu itu. Kupeluk ibu tangisku seketika langsung pecah mengingat semua dokumenatsi Tuhan yang dikirim melalui mimpiku. Menjadi alarm bahwa Edelweiss ada sebagai bunga keabadian dari cinta kasih Ayah dan Ibuku


SEKIAN

0 komentar:

Posting Komentar